Kamis, 02 Januari 2025

Antara S.M. Kartosuwirjo - Soekarno: Dipaksa Ditawan Dan Menyerahkan Diri Tanpa Harga Diri


TJOKROCORNER, ESAI -
Imam Negara Islam Indonesia (NII), S.M. Kartosuwirjo tidak mau menyerah apalagi menyerahkan diri. Lebih baik dipaksa ditawan musuh sebagai bentuk paling lemah dari sebuah perlawanan! 

Tatkala Imam Assyahid Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo disergap pasukan TNI Batalyon Kujang dalam Operasi Pagar Betis di Gunung Geber Tasikmalaya yang dipimpin Letda Suhanda, beliau dalam keadaan sakit, diperintahkan pindah dari pembaringannya ke tandu yang mendadak dibuatkan, maka Imam tidak mengikuti perintah tersebut. 

Terhadap perintah itu, Imam menjawab: "Jika saya bergeser dari tempat ini, berarti saya menyerah. Tidak ada kamusnya dalam perjuangan Islam menyerah".

Lalu pihak musuh yang memerintahkannya itu berkata: "Kalau begitu kami akan memaksa Imam untuk dipindahkan ke tandu". 

Kemudian Imam menjawab: "Itu adalah hak anda, sekarang ini saya sebagai tawanan tidak berdaya sebab itu mau diapakan saya, terserah anda!" 

Cerita ini berasal dari keterangan Sersan Mayor Edy, salah seorang prajurit TNI yang ikut menyergap Imam. Hal itu dikemukakan saat wawancara dengan Kyai Saeful Malik. 

Kemudian Imam dipindahkan dari pembaringannya lalu diboyong musuh. Dengan sikap Imam sedemikian itu, maka bukanlah menyerah, melainkan tertangkap.

Soekarno: Menyerahkan Diri Untuk Ditawan Atau Siasat Berunding?

Penuturan George Mc. T. Kahin, seorang mahasiswa Amerika yang saat itu berada di Yogya untuk keperluan riset disertasinya menulis bahwa pidato-pidato Soekarno menggetarkan, acap kali diselingi dengan slogan-slogan yang menggugah. 

Salah satu slogan berbahasa Belanda yang tidak saja sering diulang-ulanginya dalam setiap kesempatan, melainkan juga dengan gigih diperjuangkannya sejak muda ialah samenbundeling van alle krachten (menghimpun segala kekuatan).

“Saya menyaksikan bagaimana pidatonya mampu membangkitkan kesadaran politik di kalangan rakyat di desa dan di kota“, Ia benar-benar mengenal detak jantung rakyatnya dan “tidak dapat ditandingi oleh pemimpin mana pun juga“, tulis Kahin dalam sebuah risalahnya (1986).

Ucapan Bung Karno yang paling berkesan waktu itu, hingga sering dikutip-kutip koran dan itu diulanginya lagi lewat radio dan terakhir dalam pidatonya dua hari sebelum aksi militer Belanda ialah:

“Jika Belanda ngotot menggunakan kekuatan militernya untuk menghancurkan Republik Indonesia dengan menduduki Yogyakarta, tujuh puluh juta rakyat Indonesia akan bangkit berjuang dan saya sendiri akan memimpin perang gerilya.” (Merdeka, 29 Mei 1948)

Namun, apa yang terjadi kemudian ialah sebuah kekecewaan. Ketika Yogya diserang, Soekarno dan pemimpin Republik merencanakan tetap tinggal di dalam kota, artinya menyerahkan dirinya kepada Belanda. 

Reaksi dari kalangan militer, terutama di kalangan para perwira yang tahu bahwa Soekarno sebelumnya bersedia untuk ikut bergerilya bersama mereka, telah menimbulkan rasa kecewa yang dalam. 

Bahkan, perintah yang dikeluarkan Hatta, pada saat-saat terakhir menjelang kejatuhan Yogyakarta, agar perjuangan diteruskan, tidak lagi mampu memulihkan rasa hormat tentara terhadap pemimpin sipil mereka. 

Peristiwa di atas, menurut Ulf Sundhaussen (1982) merupakan awal rusaknya hubungan sipil-militer dalam perpolitikan Indonesia.

A.H. Nasution menulis: “Memang cukup mengecewakan berita-berita yang masuk ke daerah gerilya, terutama tentang kejadian di Istana dan lain-lain di tempat resmi. … Pembesar Republik yang tertinggi keluar dengan pembawa BENDERA PUTIH dan kemudian ditawan Belanda. … Sukarno minta dijamin keselamatan dirinya, anggota-anggota kabinet, dan keluarganya, serta pembantu-pembantunya, dan berjanji tidak akan meninggalkan Istana.”

Dalam biografi Soekarno yang ditulis Cindy Adams, pertemuan Soekarno dan Soedirman itu dilukiskan dengan dramatis.

"Dirman, engkau seorang prajurit. Tempatmu di medan perang bersama pasukanmu. Tempatmu bukan pelarianku. Aku harus tinggal di sini dan mungkin bisa berunding untuk kita serta memimpin rakyat kita."

Sekitar pukul 11.00 WIB, pasukan baret hijau Belanda bergerak memasuki kota. Tujuan mereka menangkap Soekarno-Hatta dan para pejabat RI lain.

Tak butuh waktu lama untuk mencapai Istana Negara. Pertahanan TNI yang tersisa terlalu lemah untuk menghentikan gerak maju pasukan komando Belanda pimpinan Letkol Van Beek. Demikian ditulis dalam buku Doorstot Naar Djokja yang ditulis Julius Pour terbitan Kompas

Overste Van Beek memberi hormat., "U staat onder huisarrest." artinya, “anda sekarang menjadi tahanan rumah.” Saat itu tentara Belanda juga menahan Mohammad Hatta, dan hampir seluruh menteri RI.

Memang, setelahnya Soekarno-Hatta dkk. dilepaskan dibawah pengampunan dan belas-kasihan Belanda yang diancam Sekutu (AS). Selanjutnya, Soekarno-Hatta melalui M. Natsir membujuk Syafrudin Prawirakusumah untuk menyerah dan menyerahkan kepemimpinan PDRI-nya ke pangkuan RI Yogyakarta yang dikembalikan dengan bersyarat oleh Belanda!

Ini adalah syarat mutlak untuk berunding sehingga terjadilah perundingan Roem-Rooyen dan berakhir di KMB! Republik Indonesia Proklamasi 17 Agustus 1845 tidak benar-benar direbut dengan Revolusi Dan Perang Gerilya! 

Ia sudah tamat riwatanya sejak 1946 dulu, dan digantikan oleh negara RI Yogyakarta hasil perundingan yang merugikan! Namun, Sjahrir-Soekarno-Hatta lebih memilih berunding! Begitulah nasib sejatinya perjuangan Di Bawah Panji Nasionalisme Sekuler atau Nasakom! 

Tulisan ini disajikan oleh Nunu A Hamijaya, Penulis buku Tetralogi Islam Bernegara & Negara Ummat.

Share:

Rabu, 01 Januari 2025

SII Sulsel: 2025, Tahun Menyemai Nilai Islam Seluas-Luasnya dan Sepenuh-Penuhnya


TJOKROCORNER, REPORTASE -
Tahun 2024 dalam penanggalan Miladiyah telah berlalu, dan kita semua telah memasuki tahun yang baru, 2025. Meski Islam punya model penanggalan sendiri, kalender Hijriyah, tapi penggunaan kalender Miladiyah telah masyhur di kalangan umat Islam di seluruh dunia.

Memasuki tahun 2025, Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Syarikat Islam Indonesia (SII) Sulawesi Selatan mengajak segenap umat Islam, warga bangsa Indonesia, menjadikan momentum ini untuk tak henti-hentinya menyemai nilai Islam seluas-luasnya dan sepenuh-penuhnya.

"Untuk menjalankan Islam dengan seluas-luasnya dan sepenuh-penuhnya sebagaimana tujuan SII, maka ikhtiar menyemaikan dan menyebarluaskan nilai-nilai Islam seluas-luasnya dan sepenuh-penuhnya, mutlak dilakukan." Jelas Ketua DPW SII Sulsel, Muhammad Kasman, S.E., M.Si.

Menurut Kasman, nilai Islam seluas-luasnya dimaksudkan bahwa Islam sebagai way of life bersifat multidimensi dan multiperspektif. "Islam itu tak hanya perintah dan larangan, ia merupakan petunjuk tentang kehidupan yang lebih luas."

"Ini mencakup mulai dari aqidah, ibadah, akhlak, hingga muamalah. Dengan memahami itu semua, implementasi syariat Islam tidak hanya parsial, tidak akan bias atau tereduksi. Selain luas, kita juga menyemai nilai Islam sepenuh-penuhnya, artinya substantif dan hakiki." Lanjutnya.

Bagi Kasman, syariat Islam sepenuh-penuhnya merupakan representasi Islam sebagai ajaran yang sempurna. Sebagaimana penegasan Allah SWT. dalam Al Qur'an surah Al-Ma'idah (5) ayat 3, "Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu."

Sementara syariat Islam seluas-luasnya, menurut Kasman, bermakna bahwa ajaran ini mencakup seluruh sendi kehidupan, baik itu ibadah, ekonomi, ekologi, politik, sosial budaya, dan kesenian. Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil alamin).

"Allah SWT. telah menegaskan bahwa Nabi Muhammad, Saw. membawa ajaran Islam bukan hanya untuk sekelompok umat, melainkan untuk seluruh alam semesta, artinya meliputi alam beserta isinya." Terang Kasman.

"Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam." (QS. Al-Anbiya 21: Ayat 107). Demikian Allah, SWT menyampaikan.

Bila umat Islam telah menginternalisasi, lalu umat di luar Islam pun telah memahami nilai-nilai Islam seluas-luasnya dan sepenuh-penuhnya, maka implementasi syariat Islam tentu akan lebih mudah dan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, karena sudah memahaminya dengan baik.

"Tentu saja, penyebaran nilai-nilai Islam tersebut dilakukan secara santun, mengedepankan dialog dan menebar hikmah, serta berbasis ilmu pengetahuan. Tahun baru 2025 bisa menjadi momentum untuk kembali menguatkan komitmen tersebut." Pungkas Kasman.

Ke depan, secara internal DPW SII Sulsel akan menggelar berbagai workshop dan kursus untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi kadernya, sementara secara eksternal akan menggiatkan seminar dan talk show sebagai ruang diseminasi dan transformasi nilai-nilai Islam seluas-luasnya dan sepenuh-penuhnya.

Share:

Bagaimana Revolusi Islam Tetap Relevan Hari Ini? (Bagian Pertama)


TJOKROCORNER, OPINI -
Pada bagian penutup Pidato Zelfbestuur (1916) O.S. Tjokroaminoto berkata: “Kongres yang terhormat, bangsaku dan kawan-kawan separtai yang saya cintai…. Di bawah pemerintah yang tiranik dan dholim, hak-hak dan kebebasan hanya dicapai dengan Jalan Revolusi, sedang dari suatu Pemerintahan yang bijaksana dengan Evolusi, gerakan yang patut. Kita berharap, bahwa gerakan evolusi ini senantiasa akan berlangsung di bawah naungan Sang Tiga Warna. Tapi bagaimanapun juga, rakyat harus bekerja untuk menentukan nasibnya sendiri”.

Pidato ini ditulis ulang dari Buku “Bunga Rampai Dari Sejarah Jilid I” karya Mohamad Roem. Penerbit Bulan Bintang, Cetakan ke-2 1977.

Kondisi keberislaman modern dewasa ini “hampir” apriori terhadap Islam Ideologis di tengah maraknya muncul ideologi-ideologi Islam ekstrim di tengah masyarakat. Dewasa ini ilmu dipisahkan dari ideologi dalam jarak yang sangat jauh. 

Pandangan intelektual kebanyakan menyebutkan bahwa sebuah kekeliruan bagi ilmu untuk bersentuhan dengan ideologi. Menurut mereka ketersinggungan antara ilmu, profesi, dan ideologi bukan lagi masalah yang harus diperdebatkan, ia sudah dibereskan oleh modernisasi dan rasionalisasi pikiran manusia.

Diskursus mengenai Islam bernegara dan politik Islam dengan pusat kendalinya pada syariat Islam dan penerapannya dalam tata kelola dan hukum dalam negara-pemerintahan di Indonesia merupakan lahan subur bagi ’ghazwul fikr’ yang tiada hentinya berkompetisi menjadi aksi dan kenyataan sejarah. 

Marcel A. Boisard melihat ada 3 fenomena yang terjadi terkait Islam dan gerakan pembebasan yang menjadi dasar dari sejarah modern umat Islam, yaitu: Reformasi, Identifikasi dan Afirmasi. Dengan terkumpulnya tiga hal tersebut akan memberi aspek dinamisasi yang sebelumnya telah demikian meredup di dunia Islam.

Proses afirmasi (peneguhan) tentang keunggulan Islam sebagai basis ideologi merupakan percampuran antara glorifikasi (ingatan akan kejayaan) masa lalu dan kesadaran terhadap perlunya pembaharuan doktrin ajaran atau pemahaman keagamaan mereka. Sedangkan upaya identifikasi lantas bergerak sebagai proses pencarian otentisitas yang memberi dasar legitimasi yang membedakan diri (diferensiasi) dari kaum penjajah Barat, baik yang kapitalis, Marxis, nasionalis maupun Islamis.

Dulu, Ruth MacVey mengatakan, tidak ada yang paling bisa mempersatukan orang Indonesia selain Islam. Tapi, kita lihat pula, tidak ada yang bisa memporak-porandakan kita secara politik selain Islam. Kahin juga pernah mengatakan, Indonesia dipersatukan karena mayoritas penduduknya beragama Islam. Kita terdiri dari ribuan kebudayaan, ribuan suku bangsa, ribuan bahasa. 

Tapi kita merasa terikat sebagai satu bangsa karena sama-sama Islam. Hal yang sama juga terjadi Malaysia; yang disebut Melayu itu pasti Islam. Kalau bukan Islam tidak disebut Melayu. Jadi yang mempersatukan kemelayuan itu adalah keislaman. Tapi kita juga melihat, kita tercabik-cabik karena keislaman kita.

Terdapat sebuah teori tentang pelaksanaan syariat Islam oleh negara,sebagaimana dikutip M. Arskal Salim dalam tulisannya berjudul “Syari’at Sampai Mana?” (Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh; Problem, Solusi dan Implementasinya. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Agustus 200), hlm. 48.

1. Syariat Islam berlaku pada praktek-praktek ritual keagamaan seperti kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita dan pelarangan resmi hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti alkhol dan judi. 

2. Syariat Islam berlaku pada bidang hukum kekeluargaan seperti perkawinan, perceraian dan warisan.

3. Syariat Islam berlaku pada bidang ekonomi dan keuangan seperti bank Islam dan zakat.

4. Penerapan Syariat Islam berlaku juga pada penerapan hukum pidana Islam terutama berkenaan dengan jenis-jenis sanksi yang dijatuhkan bagi pelanggarnya.

5. Syariat Islam dapat dijadikan kontrol sosial

Menurutnya, level itu berlaku secara hirarkhis dari yang terendah sampai yang tertinggi. Karena itu, tuntutan untuk menerapkan kelima level hukum Islam tersebut dengan sendirinya mengimplikasikan tuntutan langsung pembentukan Negara Islam, yaitu pada level Penggunaan Syariat Islam sebagai dasar Negara dan sistem pemerintah. Dengan kata lain, semakin tinggi level tuntutan penerapan hukum Islam, maka semakin dekat pula menuju perwujudan gagasan Negara Islam.

Tipologi masyarakat muslim Indonesia, berdasarkan penerimaannya terhadap konsep Islam sistem bernegara-pemerintahan, dapat menjadi empat tipologi, yaitu : 

1. Islam Ideologis, seperti di Aceh dan Padang (adat basandi syara, syara basandi kitabulloh) nilai-nilai dan syariat Islam sudah merupakan bagian tak terpisahkan dari kejayaan Aceh masa lalu. Islam sudah sejak lama menjadi “cara hidup dan nilai yang dihayati” (a way of life, a living value), Seorang Antropolog Belanda B.J. Boland setelah melakukan penelitian di Aceh mengatakan: being an Acehnese is equivalent to being a Muslim (menjadi orang Aceh identik dengan menjadi Muslim) dimana semua itu digerakkan oleh para ulama yang sangat penting posisinya dalam masyarakat.

2. Islam Substansialis, seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur (pribumisasi Islam gaya Sunan Kalijaga)

3. Islam Formatif, seperti di Priangan Timur (Konstitusi - Qonun Asasi - Negara Islam Indonesia)

4. Islam Politis, seperti di Sulawesi dan Maluku, (politik Islam elit penguasa atas rakyatnya)

Setidaknya ada tiga arus besar yang mengemuka dalam menyikapi syari’at Islam, Pertama, arus formalisasi syari’at Islam. Mereka menghendaki agar syari’at Islam dijadikan landasan riil berbangsa dan bernegara. Kedua, arus deformalisasi syari’at Islam, yang memilih pemaknaan syari’at secara substantif. Ketiga, arus moderat. Kelompok ini dikesankan mengambil jalan tengah; menolak sekuralisasi dan islamisasi, karena budaya masyarakat muslim Indonesia mempunyai kekhasan tersendiri. 

Lihat lebih jauh dalam Zuhairi Misrawi, Dekonstruksi Syari’ah; Jalan Menuju Desakralisasi, Reinterpretasi dan Depolitisasi, dalam Tashwirul Afkar, edisi No. 12 Tahun 2002, h. 7

Banyak literatur di Indonesia, meskipun tidak mendukung teokrasi, menginginkan integrasi agama dan politik (Al-Farisi 2019; Harun 2014; Usman 2017). Meski demikian visi politik Islam menurut Abduh Wahid (2019:140) berbeda satu sama lain, atau setidaknya ada tiga yaitu: 1) Islam sebagai kultur politik, 2) Islam sebagai etika politik, dan 3) Islam sebagai ideologi politik. Senada dengan itu, pertemuan Islam dan modernitas juga memicu tanggapan yang berbeda seperti reformisme, sekularisme dan Islamisme. 

Menurut Amin Mudzakkir (2016) Islamisme yang bertujuan menjadikan Islam sebagai dasar negara pada dasarnya bukan sebatas penolakan terahadap modernitas sebab ia juga merupakan modernitas itu sendiri.

Tulisan ini disajikan oleh Nunu A Hamijaya, Penulis buku Tetralogi Islam Bernegara & Negara Ummat.

Share:

Selasa, 31 Desember 2024

Antara Alun-Alun Bandung & Tjokroaminoto



TJOKROCORNER, CUKILAN - Tahukah sobat, alun-alun Bandung, dikenal saat ini dengan hamparan rumput sintetiknya tempat anak-anak bermain dan remajanya bercanda-tawa, sementara orang-orang tua, dewasa ada yang salat dan pengajian di Masjid Raya. 

Tapi tahukah, bahwa seabad yang lalu, persisnya Ahad, 18 Juni 1916 pernah ada pidato tentang kehendak untuk merdeka berpemerintahan sendiri padahal saat itu zaman colonial Hindia Belanda.

Pidato itu berjudul Zelfbestuur, dengan orator Sang Guru Bangsa, HOS Tjokroaminoto, gurunya Soekarno (Nasionalis/NKRI), Semaoen (PKI) dan Kartosoewirjo (Islam - DI/NII).

Pidato itu dihadiri utusan dari 80 Lokal Sarekat Islam (SI) yang mewakili 360.000 anggota Sarekat Islam dari berbagai pulau, Sumatera, Kalimantan,Jawa, dan Sulawesi. 

Dalam pidatonya, Tjokroaminoto berani berteriak lantang, “...bilamana kita memperoleh zelfbestuur yang sesungguhnya, artinya bila tanah air kita, kelak menjadi suatu negara dengan pemerintahan sendiri, maka seluruh lapisan masyarakat semuanya akan menuju ke arah dan bersama-sama memelihara kepentingan kita bersama”.

Tulisan ini disajikan oleh Nunu A Hamijaya, Penulis buku Tetralogi Islam Bernegara & Negara Ummat.

Sumber: 

1. Rambe, Safrizal. Sarekat Islam Pelopor Nasionalisme Indonesia, 1905-1942, Yayasan Kebangkitan Insan Cendekia, 2008, Jakarta.

2. Hamijaya, Nunu A, dkk. (2019), Titik Nol Kehendak Berpemerintahan Sendiri (Zelfbestuur, 1916), Pusbangter, Jatinangor.

Share:

Senin, 30 Desember 2024

Kwarnas Pandu SIAP SII Sukses Gelar ToT Tingkat Nasional


TJOKROCORNER, REPORTASE -
Gerakan Pandu Syarikat Islam Angkatan Pandu (SIAP) Syarikat Islam Indonesia (SII) sukses menggelar Training of Trainer (ToT) tingkat nasional, 28-30 Desember 2024 di Garut, Jawa Barat.

Kegiatan dimaksud merupakan ikhtiar Kwartir Nasional (Kwarnas) Pandu SIAP untuk menumbuhkan rasa cinta, menanamkan jiwa tauhid dan mengembangkan kepemimpinan di kalangan pelatih Pandu SIAP.

Untuk pengelolaan kegiatan dimaksud, Kwarnas Pandu SIAP menggandeng Majelis Pendidikan Syarikat Islam (MPSI) Indonesia sebagai organisasi yang membidangi pendidikan, kepanduan, perempuan dan pemuda di SII.

Training of Trainer (ToT) yang diharapkan menjadi wadah menyiapkan pelatih tingkat nasional ini diharapkan bisa menjadi darah segar bagi gerak organisasi yang didirikan pada 6 Syawal 1345 H bertepatan dengan tanggal 9 April 1927 di Yogyakarta.

Gerakan Pandu SIAP sendiri bertujuan mewujudkan generasi penerus yang bertaqwa, mandiri, cerdas dan terampil, berwawasan kebangsaan serta bertanggung jawab atas terlaksananya Islam seluas luasnya dan sepenuh penuhnya.

Untuk mencapai tujuan tersebut, Gerakan Pandu SIAP berupaya menanamkan dan menmbuhkan jiwa tauhid dan akhlakul karimah, memupuk dan mengembangkan rasa cinta tanah air dan rasa cinta sesama makhluk hingga mengembangkan kepemimpinan.

Share:

Sabtu, 28 Desember 2024

Oemar Said Tjokroaminoto Di Cianjur: Blok Tjokro & Pendopo


TJOKROAMINOTO, CUKILAN - Salah satu cerita masyarakat Gununghalu, Ciranjang yang sejak tahun 80-an menjadi desa-desa pemekaran seperti Sindangjaya, Sindangsari, dan Kertajaya mengenal sebuah kawasan persawahan yang disebut Blok Tjokro. 

Keberadaan Blok Tjokro berkaitan dengan cerita Pak Tjokroaminoto, pimpinan SI (Sarekat Islam) saat itu (1916-1917) satu-dua kali ke Cianjur, antara lain Ciranjang. Pak Tjokro saat itu didampingi tokoh SI, yaitu Mohammad Basir (tahun 1945-an menjadi Pimpinan Hizbulloh) dan Lurah Usip Gununghalu.   

Tokoh-tokoh SI Cianjur pada saat itu adalah RD. Prawirakoesoemah (penggerak S.I. Afdeling B), Assoeri (Sekretaris S.I. Afdeling Cianjur) dan H. Djalil (Cibaregbeg Cibeber, Cianjur).

Dalam kaitan Blok Tjokro ini, diceritakan bahwa terjadi persengkataan tanah antara agan-agan menak Cianjur yang kemudian diselesaikan secara baik oleh Pak Tjokro. Sebagai imbal jasanya, maka Pak Tjokro mendapat lahan sawah yang diberinamanya yaitu Blok Tjokro. 

Kawasan pesawahan tersebut sejak tahun 84, berada di Desa Sindangsari, Kampung Seuseupan, dengan perubahan nama menjadi Blok Sampih.

Kejadian tentang Blok Tjokro ini saat Bupati Cianjur ke-12 adalah RAA Wiranakusumah – Dalem Hadji (1912-1920). Beliau dikenal dekat dengan tokoh-tokoh SI, antara lain KHR Muhammad Nuh Bin Idris, (ayah KHR Abdullah bin Nuh) pendiri Madrasah Al I’anah, pada 17 September 1912. 

Beliau seorang ulama alumni Mekkah, junior Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari (Pendiri NU) dan KH Ahmad Darwis alias KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) yang pernah berkunjung ke Kaum Cianjur menemui Mama Nuh Idris.(bukan Mama Nuh Gentur!). KHR Muhammad Nuh Idris terakhir sebagai anggota Konstituante (1955-1959) dari Partai Masyumi.

Terlebih pada tahun 1916, menjelang peristiwa kongres nasional Natico CSI (National Congress Central Sarikat Islam), pada 17 – 24 Juni 1916 di Bandung (Alun-alun dan Gedung Concordia/ Gedung Merdeka), bahwa pendopo Cianjur digunakan sebagai salah-satu tempat rapat persiapan panitianya. 

Dalam rentang tahun itulah bahwa tokoh-tokoh SI Pusat , seperti Abdoel Moeis dan Tjokroaminoto antara tahun 1916-1917 berkesempatan berkunjung ke afdeling Cianjur, termasuk ke wilayah Ciranjang yang dikenal sebagai basis massa SI, sejak didirikannya di Cianjur tahun 1913.

Kaum al I’anah, 28/12/2024

Tulisan ini disajikan oleh Nunu A Hamijaya, Penulis buku Tetralogi Islam Bernegara & Negara Ummat.

Share:

Kamis, 26 Desember 2024

Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI), Organisasi Sayap yang Terabaikan


TJOKROCORNER, OPINI -
Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) adalah salah satu organisasi mahasiswa yang cukup tua di Indonesia yang lahir dari rahim perjuangan Sarekat Islam. Didirikan dengan semangat membangun generasi muda yang berintegritas, berwawasan luas, dan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam, SEMMI menjadi garda terdepan dalam mengawal isu-isu kebangsaan dan keumatan. Namun, di tengah perjalanan sejarahnya, peran strategis SEMMI perlahan-lahan mulai memudar, menjadikannya sebagai "organisasi sayap yang terabaikan."

SEMMI seharusnya menjadi wadah bagi mahasiswa Muslim untuk mengembangkan potensi intelektual dan moral, sekaligus menjadi ruang bagi lahirnya pemimpin masa depan yang tangguh dengan semangat dan cita-cita dari Sarekat Islam itu sendiri. Tetapi minimnya perhatian dari induk organisasi dan lemahnya dukungan sumber daya membuat SEMMI menghadapi berbagai kendala. Regenerasi yang terputus, struktur organisasi yang kurang solid, dan kurangnya program yang relevan dengan kebutuhan zaman menjadikan SEMMI kurang terlihat dalam percaturan organisasi mahasiswa di tingkat nasional.

Di era digital dan globalisasi, organisasi harus mampu berinovasi dan beradaptasi dengan perkembangan zaman. Sayangnya, SEMMI masih kurang dalam hal ini. Kurangnya inovasi dalam strategi komunikasi dan kampanye membuat SEMMI sulit menjangkau generasi muda yang lebih terbiasa dengan teknologi digital. Selain itu, kurangnya adaptasi terhadap isu-isu kontemporer juga membuat SEMMI kurang relevan di mata mahasiswa Muslim.

Padahal, sejarah telah mencatat bahwa SEMMI pernah menjadi bagian dari pergerakan mahasiswa yang progresif, yang tak hanya memperjuangkan hak-hak mahasiswa tetapi juga menyuarakan kepentingan rakyat kecil. Kehadiran SEMMI di berbagai kampus di Indonesia pernah menjadi simbol perjuangan mahasiswa Muslim yang lantang menyuarakan keadilan, melawan penindasan, dan memperjuangkan kesejahteraan masyarakat.

Namun kini, SEMMI sering kali hanya menjadi nama yang disebut dalam sejarah tanpa aksi nyata yang menggema di masa kini. Terabaikan bukan hanya oleh pihak eksternal, tetapi juga oleh induk organisasinya sendiri, SEMMI membutuhkan revitalisasi total. Organisasi ini harus kembali menemukan pijakannya, menyusun ulang visi dan misinya, serta melahirkan program-program yang relevan dengan tantangan zaman.

Bangkitnya SEMMI adalah harapan banyak pihak, terutama generasi muda Muslim yang merindukan organisasi yang mampu menjadi pelita di tengah kegelapan. Dengan dukungan dari semua pihak, terutama induk organisasi dan para alumni, SEMMI dapat kembali memainkan peran strategisnya sebagai motor penggerak perubahan di Indonesia.

Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia bukanlah organisasi yang ditakdirkan untuk terabaikan. Ia adalah simbol perjuangan mahasiswa Muslim yang memiliki potensi besar untuk berkontribusi dalam membangun bangsa. Kini saatnya SEMMI bangkit, bukan hanya untuk menyelamatkan dirinya, tetapi juga untuk menjadi cahaya yang menerangi jalan perjuangan generasi muda Indonesia.

Wallahu'alam.

Tulisan ini disajikan oleh Ardinal Bandaro Putiah. Tokoh Pergerakan Pemuda di Sumatera Barat.

Share: