TJOKROCORNER, OPINI - Pada bagian penutup Pidato Zelfbestuur (1916) O.S. Tjokroaminoto berkata: “Kongres yang terhormat, bangsaku dan kawan-kawan separtai yang saya cintai…. Di bawah pemerintah yang tiranik dan dholim, hak-hak dan kebebasan hanya dicapai dengan Jalan Revolusi, sedang dari suatu Pemerintahan yang bijaksana dengan Evolusi, gerakan yang patut. Kita berharap, bahwa gerakan evolusi ini senantiasa akan berlangsung di bawah naungan Sang Tiga Warna. Tapi bagaimanapun juga, rakyat harus bekerja untuk menentukan nasibnya sendiri”.
Pidato ini ditulis ulang dari Buku “Bunga Rampai Dari Sejarah Jilid I” karya Mohamad Roem. Penerbit Bulan Bintang, Cetakan ke-2 1977.
Kondisi keberislaman modern dewasa ini “hampir” apriori terhadap Islam Ideologis di tengah maraknya muncul ideologi-ideologi Islam ekstrim di tengah masyarakat. Dewasa ini ilmu dipisahkan dari ideologi dalam jarak yang sangat jauh.
Pandangan intelektual kebanyakan menyebutkan bahwa sebuah kekeliruan bagi ilmu untuk bersentuhan dengan ideologi. Menurut mereka ketersinggungan antara ilmu, profesi, dan ideologi bukan lagi masalah yang harus diperdebatkan, ia sudah dibereskan oleh modernisasi dan rasionalisasi pikiran manusia.
Diskursus mengenai Islam bernegara dan politik Islam dengan pusat kendalinya pada syariat Islam dan penerapannya dalam tata kelola dan hukum dalam negara-pemerintahan di Indonesia merupakan lahan subur bagi ’ghazwul fikr’ yang tiada hentinya berkompetisi menjadi aksi dan kenyataan sejarah.
Marcel A. Boisard melihat ada 3 fenomena yang terjadi terkait Islam dan gerakan pembebasan yang menjadi dasar dari sejarah modern umat Islam, yaitu: Reformasi, Identifikasi dan Afirmasi. Dengan terkumpulnya tiga hal tersebut akan memberi aspek dinamisasi yang sebelumnya telah demikian meredup di dunia Islam.
Proses afirmasi (peneguhan) tentang keunggulan Islam sebagai basis ideologi merupakan percampuran antara glorifikasi (ingatan akan kejayaan) masa lalu dan kesadaran terhadap perlunya pembaharuan doktrin ajaran atau pemahaman keagamaan mereka. Sedangkan upaya identifikasi lantas bergerak sebagai proses pencarian otentisitas yang memberi dasar legitimasi yang membedakan diri (diferensiasi) dari kaum penjajah Barat, baik yang kapitalis, Marxis, nasionalis maupun Islamis.
Dulu, Ruth MacVey mengatakan, tidak ada yang paling bisa mempersatukan orang Indonesia selain Islam. Tapi, kita lihat pula, tidak ada yang bisa memporak-porandakan kita secara politik selain Islam. Kahin juga pernah mengatakan, Indonesia dipersatukan karena mayoritas penduduknya beragama Islam. Kita terdiri dari ribuan kebudayaan, ribuan suku bangsa, ribuan bahasa.
Tapi kita merasa terikat sebagai satu bangsa karena sama-sama Islam. Hal yang sama juga terjadi Malaysia; yang disebut Melayu itu pasti Islam. Kalau bukan Islam tidak disebut Melayu. Jadi yang mempersatukan kemelayuan itu adalah keislaman. Tapi kita juga melihat, kita tercabik-cabik karena keislaman kita.
Terdapat sebuah teori tentang pelaksanaan syariat Islam oleh negara,sebagaimana dikutip M. Arskal Salim dalam tulisannya berjudul “Syari’at Sampai Mana?” (Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh; Problem, Solusi dan Implementasinya. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Agustus 200), hlm. 48.
1. Syariat Islam berlaku pada praktek-praktek ritual keagamaan seperti kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita dan pelarangan resmi hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti alkhol dan judi.
2. Syariat Islam berlaku pada bidang hukum kekeluargaan seperti perkawinan, perceraian dan warisan.
3. Syariat Islam berlaku pada bidang ekonomi dan keuangan seperti bank Islam dan zakat.
4. Penerapan Syariat Islam berlaku juga pada penerapan hukum pidana Islam terutama berkenaan dengan jenis-jenis sanksi yang dijatuhkan bagi pelanggarnya.
5. Syariat Islam dapat dijadikan kontrol sosial
Menurutnya, level itu berlaku secara hirarkhis dari yang terendah sampai yang tertinggi. Karena itu, tuntutan untuk menerapkan kelima level hukum Islam tersebut dengan sendirinya mengimplikasikan tuntutan langsung pembentukan Negara Islam, yaitu pada level Penggunaan Syariat Islam sebagai dasar Negara dan sistem pemerintah. Dengan kata lain, semakin tinggi level tuntutan penerapan hukum Islam, maka semakin dekat pula menuju perwujudan gagasan Negara Islam.
Tipologi masyarakat muslim Indonesia, berdasarkan penerimaannya terhadap konsep Islam sistem bernegara-pemerintahan, dapat menjadi empat tipologi, yaitu :
1. Islam Ideologis, seperti di Aceh dan Padang (adat basandi syara, syara basandi kitabulloh) nilai-nilai dan syariat Islam sudah merupakan bagian tak terpisahkan dari kejayaan Aceh masa lalu. Islam sudah sejak lama menjadi “cara hidup dan nilai yang dihayati” (a way of life, a living value), Seorang Antropolog Belanda B.J. Boland setelah melakukan penelitian di Aceh mengatakan: being an Acehnese is equivalent to being a Muslim (menjadi orang Aceh identik dengan menjadi Muslim) dimana semua itu digerakkan oleh para ulama yang sangat penting posisinya dalam masyarakat.
2. Islam Substansialis, seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur (pribumisasi Islam gaya Sunan Kalijaga)
3. Islam Formatif, seperti di Priangan Timur (Konstitusi - Qonun Asasi - Negara Islam Indonesia)
4. Islam Politis, seperti di Sulawesi dan Maluku, (politik Islam elit penguasa atas rakyatnya)
Setidaknya ada tiga arus besar yang mengemuka dalam menyikapi syari’at Islam, Pertama, arus formalisasi syari’at Islam. Mereka menghendaki agar syari’at Islam dijadikan landasan riil berbangsa dan bernegara. Kedua, arus deformalisasi syari’at Islam, yang memilih pemaknaan syari’at secara substantif. Ketiga, arus moderat. Kelompok ini dikesankan mengambil jalan tengah; menolak sekuralisasi dan islamisasi, karena budaya masyarakat muslim Indonesia mempunyai kekhasan tersendiri.
Lihat lebih jauh dalam Zuhairi Misrawi, Dekonstruksi Syari’ah; Jalan Menuju Desakralisasi, Reinterpretasi dan Depolitisasi, dalam Tashwirul Afkar, edisi No. 12 Tahun 2002, h. 7
Banyak literatur di Indonesia, meskipun tidak mendukung teokrasi, menginginkan integrasi agama dan politik (Al-Farisi 2019; Harun 2014; Usman 2017). Meski demikian visi politik Islam menurut Abduh Wahid (2019:140) berbeda satu sama lain, atau setidaknya ada tiga yaitu: 1) Islam sebagai kultur politik, 2) Islam sebagai etika politik, dan 3) Islam sebagai ideologi politik. Senada dengan itu, pertemuan Islam dan modernitas juga memicu tanggapan yang berbeda seperti reformisme, sekularisme dan Islamisme.
Menurut Amin Mudzakkir (2016) Islamisme yang bertujuan menjadikan Islam sebagai dasar negara pada dasarnya bukan sebatas penolakan terahadap modernitas sebab ia juga merupakan modernitas itu sendiri.
Tulisan ini disajikan oleh Nunu A Hamijaya, Penulis buku Tetralogi Islam Bernegara & Negara Ummat.
0 Comments:
Posting Komentar