TJOKROCORNER, ESAI - Imam Negara Islam Indonesia (NII), S.M. Kartosuwirjo tidak mau menyerah apalagi menyerahkan diri. Lebih baik dipaksa ditawan musuh sebagai bentuk paling lemah dari sebuah perlawanan!
Tatkala Imam Assyahid Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo disergap pasukan TNI Batalyon Kujang dalam Operasi Pagar Betis di Gunung Geber Tasikmalaya yang dipimpin Letda Suhanda, beliau dalam keadaan sakit, diperintahkan pindah dari pembaringannya ke tandu yang mendadak dibuatkan, maka Imam tidak mengikuti perintah tersebut.
Terhadap perintah itu, Imam menjawab: "Jika saya bergeser dari tempat ini, berarti saya menyerah. Tidak ada kamusnya dalam perjuangan Islam menyerah".
Lalu pihak musuh yang memerintahkannya itu berkata: "Kalau begitu kami akan memaksa Imam untuk dipindahkan ke tandu".
Kemudian Imam menjawab: "Itu adalah hak anda, sekarang ini saya sebagai tawanan tidak berdaya sebab itu mau diapakan saya, terserah anda!"
Cerita ini berasal dari keterangan Sersan Mayor Edy, salah seorang prajurit TNI yang ikut menyergap Imam. Hal itu dikemukakan saat wawancara dengan Kyai Saeful Malik.
Kemudian Imam dipindahkan dari pembaringannya lalu diboyong musuh. Dengan sikap Imam sedemikian itu, maka bukanlah menyerah, melainkan tertangkap.
Soekarno: Menyerahkan Diri Untuk Ditawan Atau Siasat Berunding?
Penuturan George Mc. T. Kahin, seorang mahasiswa Amerika yang saat itu berada di Yogya untuk keperluan riset disertasinya menulis bahwa pidato-pidato Soekarno menggetarkan, acap kali diselingi dengan slogan-slogan yang menggugah.
Salah satu slogan berbahasa Belanda yang tidak saja sering diulang-ulanginya dalam setiap kesempatan, melainkan juga dengan gigih diperjuangkannya sejak muda ialah samenbundeling van alle krachten (menghimpun segala kekuatan).
“Saya menyaksikan bagaimana pidatonya mampu membangkitkan kesadaran politik di kalangan rakyat di desa dan di kota“, Ia benar-benar mengenal detak jantung rakyatnya dan “tidak dapat ditandingi oleh pemimpin mana pun juga“, tulis Kahin dalam sebuah risalahnya (1986).
Ucapan Bung Karno yang paling berkesan waktu itu, hingga sering dikutip-kutip koran dan itu diulanginya lagi lewat radio dan terakhir dalam pidatonya dua hari sebelum aksi militer Belanda ialah:
“Jika Belanda ngotot menggunakan kekuatan militernya untuk menghancurkan Republik Indonesia dengan menduduki Yogyakarta, tujuh puluh juta rakyat Indonesia akan bangkit berjuang dan saya sendiri akan memimpin perang gerilya.” (Merdeka, 29 Mei 1948)
Namun, apa yang terjadi kemudian ialah sebuah kekecewaan. Ketika Yogya diserang, Soekarno dan pemimpin Republik merencanakan tetap tinggal di dalam kota, artinya menyerahkan dirinya kepada Belanda.
Reaksi dari kalangan militer, terutama di kalangan para perwira yang tahu bahwa Soekarno sebelumnya bersedia untuk ikut bergerilya bersama mereka, telah menimbulkan rasa kecewa yang dalam.
Bahkan, perintah yang dikeluarkan Hatta, pada saat-saat terakhir menjelang kejatuhan Yogyakarta, agar perjuangan diteruskan, tidak lagi mampu memulihkan rasa hormat tentara terhadap pemimpin sipil mereka.
Peristiwa di atas, menurut Ulf Sundhaussen (1982) merupakan awal rusaknya hubungan sipil-militer dalam perpolitikan Indonesia.
A.H. Nasution menulis: “Memang cukup mengecewakan berita-berita yang masuk ke daerah gerilya, terutama tentang kejadian di Istana dan lain-lain di tempat resmi. … Pembesar Republik yang tertinggi keluar dengan pembawa BENDERA PUTIH dan kemudian ditawan Belanda. … Sukarno minta dijamin keselamatan dirinya, anggota-anggota kabinet, dan keluarganya, serta pembantu-pembantunya, dan berjanji tidak akan meninggalkan Istana.”
Dalam biografi Soekarno yang ditulis Cindy Adams, pertemuan Soekarno dan Soedirman itu dilukiskan dengan dramatis.
"Dirman, engkau seorang prajurit. Tempatmu di medan perang bersama pasukanmu. Tempatmu bukan pelarianku. Aku harus tinggal di sini dan mungkin bisa berunding untuk kita serta memimpin rakyat kita."
Sekitar pukul 11.00 WIB, pasukan baret hijau Belanda bergerak memasuki kota. Tujuan mereka menangkap Soekarno-Hatta dan para pejabat RI lain.
Tak butuh waktu lama untuk mencapai Istana Negara. Pertahanan TNI yang tersisa terlalu lemah untuk menghentikan gerak maju pasukan komando Belanda pimpinan Letkol Van Beek. Demikian ditulis dalam buku Doorstot Naar Djokja yang ditulis Julius Pour terbitan Kompas
Overste Van Beek memberi hormat., "U staat onder huisarrest." artinya, “anda sekarang menjadi tahanan rumah.” Saat itu tentara Belanda juga menahan Mohammad Hatta, dan hampir seluruh menteri RI.
Memang, setelahnya Soekarno-Hatta dkk. dilepaskan dibawah pengampunan dan belas-kasihan Belanda yang diancam Sekutu (AS). Selanjutnya, Soekarno-Hatta melalui M. Natsir membujuk Syafrudin Prawirakusumah untuk menyerah dan menyerahkan kepemimpinan PDRI-nya ke pangkuan RI Yogyakarta yang dikembalikan dengan bersyarat oleh Belanda!
Ini adalah syarat mutlak untuk berunding sehingga terjadilah perundingan Roem-Rooyen dan berakhir di KMB! Republik Indonesia Proklamasi 17 Agustus 1845 tidak benar-benar direbut dengan Revolusi Dan Perang Gerilya!
Ia sudah tamat riwatanya sejak 1946 dulu, dan digantikan oleh negara RI Yogyakarta hasil perundingan yang merugikan! Namun, Sjahrir-Soekarno-Hatta lebih memilih berunding! Begitulah nasib sejatinya perjuangan Di Bawah Panji Nasionalisme Sekuler atau Nasakom!
Tulisan ini disajikan oleh Nunu A Hamijaya, Penulis buku Tetralogi Islam Bernegara & Negara Ummat.
0 Comments:
Posting Komentar