Rabu, 25 Desember 2024

Melihat Revolusi Indonesia Dari Kacamata Seorang Anti-Republik


TJOKROCORNER, ESAI
- Membaca jatuh bangunnya sebuah epik perjuangan kemerdekaan, seperti halnya Indonesia lewat Proklamasi 17 Agustus 1945 atau Proklamasi Negara Islam Indonesia 7 Agustus 1949 lebih gurih lewat karya sastra. Selain kenyang secara spiritual, juga sedikit lebih ‘melting’ sebab topiknya memang panas! 

Sebuah roman ditulis Y.B. Mangunwijaya, berjudul Burung-Burung Manyar mengambil latar pra-kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. Ia dibagi menjadi tiga bagian, yakni periode 1934-1944, periode 1945-1950, dan periode 1968-1978. 

Tokoh utama dalam novel ini adalah Setadewa alias Teto. Ia adalah seorang tentara KNIL, putra Kapten KNIL yang bernama Brajabasuki. Ibu Teto bernama Marice, seorang perempuan Belanda totok.

Teto sebagai tentara KNIL tentu mendukung kekuasaan Belanda atas Indonesia. Ia menaruh kebencian kepada Soekarno-Hatta. Bagi Teto, orang-orang Indonesia masih “belum matang untuk merdeka,” sehingga berbagai suara kemerdekaan merupakan “omong kosong [dan] slogan belaka yang menipu.” (hlm. 69-70).

Baginya, orang Indonesia tidak akan lebih merdeka “di bawah Merah Putih Republik,” dibandingkan di bawah “mahkota Belanda” (hlm. 70). 

Tentu, sosok Teto saat itu dan kini akan tetap saja akan ada. Di tengah kondisi kriris ekonomi dan kemiskinan rakyat Indonesia saat ini, keyakinan model Teto ini akan bertambah banyak. Semuanya akan berujung kepada alternatif pro-kontra Republik! Namun, bagaimanakah solusinya?  

Menimbang Pro–Kontra Republik: Tinjauan Sejarah

Apakah kemerdekaan bangsa Indonesia dengan Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah harapan, cita-cita dan keinginan pihak Belanda atau Jepang sebagai penjajah? Tentu saja tidak! Adanya Agresi Militer I-II oleh pihak Belanda adalah upaya berbagai cara untuk melanggengkan kolonialismenya. Adapun Jepang, pernah menjanjikan sebuah kemerdekaan, dengan syarat-syarat tertentu. Tetapi keburu kalah perang oleh Sekutu.  

Tidak lewat perang, maka politik diplomasi lewat perjanjian dilakukan, sejak Linggarjati, Renville, hingga puncaknya adalah KMB. Perjanjian internasional ini menyebabkan pro dan kontra, dari perspektif ‘kemerdekaan’, di kalangan elit nasional, baik berlatarbelakang pergerakan politik Islam maupun nasionalis (sekuler) berbeda-beda terutama secara ideologi politik, yaitu Islam dan Nasionalisme.

Atas perjanjian tersebut, kalangan Islam menyatakan penolakannya. Bahwa sejak Renville dan menyerah kalahnya pimpinan nasional (Soekarno, Hatta, Agus Salim, dkk. ditahan di Bangka), menjadi sebab legitimasi proklamasi dan revolusi '45 itu sudah tamat riwayatnya. Tidak ada lagi Negara RI, bahkan eksistensi RI Yogyakarta (Renville) pun habis. 

Mengapa ada PDRI-nya Mr. Sjafrudin Prawiranegara, dkk. di Bukittinggi, Sumatera, karena Sumatera lah satu-satunya wilayah RI Yogyakarta berdasarkan Renville.

Selanjutnya, oleh Belanda, Soekarno-Hatta dikembalikan lagi ke Yogyakarta, sebagai Presiden Negara RI Yogyakarta dengan konsensi harus melakukan perjanjian berikutnya yaitu Roem-Royen dan ujung ceritanya Konferensi Meja Bundar (KMB). 

Jadi pada dasarnya, Negara RI Yogyakarta itu kembali diakui Belanda untuk memuluskan rencanan finalnya yaitu terbentuknya Negara RIS sebagai penerima mandat kedaulatan wilayah Hindia Belanda.

Belanda menyerahkan kedaulatan atas wilayah Hindia Belanda (Indonesia) itu bukan kepada RI Yogyakarta,akan tetapi kepada Negara RIS. Negara RI Yogyakarta lahir dari sebuah perjanjian internasional (Renville), bukan hasil dari Proklamasi 1945.  

Jadi, Belanda berunding secara diplomasi itu bukan dengan Negara RI hasil Proklamasi Soekarno-Hatta, yang disahkannya lewat UUD 1945, sehari kemudian, 18 Agustus 1945. Akan tetapi, sebuah negara dan pemerintahan yang lahir dari rahim perjanjian Renville. Demikian pula, Negara RIS lahir dari rahim KMB (Konferensi Meja Bundar).

Sekalipun, kemudian melalui UU No. 70/1950, penamaan Negara RIS diubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1950, tetap yang menjadi legal standingnya adalah KMB, bukan Proklamasi 17 Agustus 1945. Jadi, statusnya adalah negara perjanjian, bukan negara proklamasi yang berdaulat.

Faktanya, kewajiban membayar utang kerugian perang kepada Belanda dijalankan oleh NKRI. Selain itu, NKRI juga diikat dengan perjanjian utang melalui lembaga IGGI sepanjang Soeharto -Orde Baru berkuasa

Hal ini merupakan bentuk lain dari neo-kolonialisme melalui jalur ekonomi negara, sehingga ketergantungan terhadap pinjaman adalan bentuk dari ‘keterjajahan’ baru. Kondisi ini tidak pernah berubah dari pergantian presiden ke presiden hingga saat ini.

Pertanyaannya, apakah memang saat ini sebagai bangsa Indonesia memang sudah merdeka?  

YPI al I’anah, 25/12/2024

Tulisan ini disajikan oleh Nunu A Hamijaya, Penulis buku Tetralogi Islam Bernegara & Negara Ummat.

Share:

0 Comments:

Posting Komentar