TJOKROCORNER, OPINI - Belum banyak yang tahu bahwa Syarikat Islam Indonesia (SII) mempunyai front perjuangan yang khusus menghimpun serta menjadi wadah bagi para sarjana, ilmuwan, intelektual, dan profesional SII berkontribusi bagi pembangunan bangsa dan menopang pergerakan SII sebagai organisasi induk.
Padahal, wadah yang bernama Serikat Sarjana Muslimin Indonesia (SESMI) serta diharapkan bisa menjadi laboratorium sosial bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan juga teknologi oleh kader-kader SSII tersebut telah ditubuhkan sejak 2 Mei 1964 di Jakarta.
Idealnya, sebagai organisasi yang menghimpun kaum intelektual SII, dengan modal keilmuan, kepakaran, kecendekiawanan, dan kebudayaan, sepatutnya SESMI menjadi ujung tombak SII dalam implementasi program azas dan program tandhim organisasi di seluas-luasnya sendi kehidupan.
Mengapa demikian? Sebab sebagai komunitas intelektual, kader-kader SESMI tentu terbiasa dengan suasana keterbukaan merespon pergerakan zaman, kebebasan mengemukakan ide dan gagasan baru, dan kemandirian dalam mendorong inovasi.
Tapi sepertinya, gerakan SESMI hari ini terjebak dalam lingkaran involusi, hanya berhasil menegaskan eksistensi secara formalistik, tetapi masih minim karya dan aksi. Sejauh mana gagasan dan karya SESMI secara kelembagaan mewarnai pergerakan SII dan perubahan sosial? Kita masih sulit menemukan jawabannya.
SESMI hari ini baru sekadar pelengkap struktur organisasi induk (SII). Padahal di tengah perubahan zaman yang bergerak demikian cepat, oganisasi –termasuk SESMI, yang bisa bertahan hanyalah organisasi yang berhasil mendinamisasi diri dan menjadi organisasi pembelajar (learning organization).
Learning Organization atau organisasi pembelajar pertama kali dipopulerkan oleh Peter Senge dalam bukunya The Fifth Discipline (1990). Bagi Senge, keberhasilan suatu organisasi sangat ditentukan oleh kemampuannya dalam mengembangkan institusinya menjadi organisasi pembelajar.
Menurutnya, organisasi pembelajar (learning organization) adalah “Organisasi dimana orang-orangnya secara terus menerus meningkatkan kapasitas mereka untuk mencapai tujuan yang mereka dambakan, dimana pola pikir baru dipelihara, aspirasi kolektif dibiarkan bebas, dan dimana orang-orang secara terus menerus belajar untuk bagaimana belajar bersama-sama”.
Lalu seperti apa organisasi pembelajar itu? Setidaknya, ada lima cirinya, yaitu: Pertama, organisasi tersebut berorientasi masa depan. Orientasi kemasadepanan sebuah organisasi ditunjukkan dengan adanya visi yang kuat yang mampu membetot perhatian seluruh pegiat organisasi bergerak untuk mencapainya.
Gede Prama -pengusaha dan motivator ternama Indonesia, menegaskan bahwa visi setidaknya harus menjadi sasaran utama organisasi, mengilhami setiap orang untuk mengejar satu tujuan bersama, memberi sense of direction dalam menghadapi krisis dan perubahan, memberi fokus, memberi identitas kepada seluruh anggota organisasi, bahkan memberi makna bagi orang yang terlibat di dalamnya.
SESMI tentu mempunyai visi dan target-target pencapaian nan besar. Problemnya sekarang, sejauhmana visi SEMMI tersebut bisa diinternalisasi oleh kader-kadernya? Seberapa kuat visi tersebut menginspirasi dan lalu menstimulasi kadernya menjadi pelopor pergerakan dan perubahan sosial?
Kedua, organisasi pembelajar dijalankan oleh elite organisasi yang bukan hanya berfungsi sebagai manajer melainkan juga sebagai pemimpin. Artinya, elite organisasi memahami fungsi manajer sebagai orang yang bertanggungjawab atas kinerja untuk pencapaian tujuan dengan baik.
Selain itu, elite organisasi yang di SESMI disebut Pimpinan Pusat (PP) juga menjalankan fungsi pemimpin sebagai orang yang bertanggungjawab untuk merumuskan tujuan organisasi yang baik.
Ketiga, organisasi pembelajar harus mempunyai budaya yang mendukung proses organisasi yang dinamis dan memadukan antara aktivitas profesional dengan kesenangan. Seperti kata Gede Prama, organisasi tidak hanya menjadi tempat berproduksi dan menghasilkan karya (a place of production), tapi juga tempat untuk berpikir (a place of thinking), dan tempat memperoleh kegembiraan (a place for fun).
Bagaimana dengan keberadaan sekretariat dan/atau kantor SESMI di seluruh tingkatan struktur? Apakah sudah tersedia? Sesederhana apapun itu. Bila pun telah tersedia, bagaimana fungsinya? Sudahkan ia menjadi tempat yang menyenangkan bagi pegiat SESMI berpikir, berdialektika dan lalu berkarya?
Keempat, organisasi pembelajar memiliki model pengembangan sumber daya manusia yang mapan, proses pelatihan yang sistematis, serta kompetensi sumber daya manusia yang terstandarisasi dengan baik. Sehingga orang-orang yang terlibat di dalamnya dituntut untuk senantiasa untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan profesonalnya. Hal ini akan berimplikasi pada mutu kerja dan produktivitas yang terjaga.
Nah, bagaimana model manajemen potensi kader dan setting alokasi kader SESMI? Apakah itu ada? Tentu sebagai front perjuangan SII, kader-kader SESMI telah ditempa di SII. Tetapi bagaimana proses penajaman visi kecendekiawanan yang menjadi ke-khas-an SESMI sebagai intelektual SII?
Kelima, organisasi pembelajar memiliki siklus dan aliran informasi yang dinamis. Sistem informasi manajemen yang diterapkan, memungkinkan setiap unsur dalam organisasi dapat dengan mudah mengakses informasi yang mereka butuhkan.
Keterbukaan dan ketulusan untuk berbagi informasi demi kemajuan bersama akan menentukan seberapa jauh organisasi tersebut bisa bertahan di tengah derasnya arus informasi dewasa ini.
Tentu bagi SESMI, dikaitkan dengan konteks perkembangan teknologi komunikasi dan informasi kontemporer, pertanyaan sederhana untuk menguji unsur ini adalah, bagaimana dengan ketersediaan website organisasi? Atau berapa banyak jurnal ilmiah yang dikelola dan/atau buku yang terbitkan (kader) SESMI?
Melihat kelima ciri organisasi pembelajar tersebut, segenap warga SII, khususnya fungsionaris SESMI bisa melakukan refleksi sederhana, semacam kritik self kritik atas eksistensi SESMI selama ini. Dari sana kita bisa menatap ke depan, akankah puas dengan kondisi yang ada, atau kita harus siap untuk berubah menjadi lebih baik.
Tetapi sebuah organisasi pembelajar yang ideal akan berjalan dengan sempurna, apabila setiap yang bisa mengajar, mengajarlah, dan yang tidak bisa, belajarlah! Sudah siapkah SESMI menjadi organisasi pembelajar? Sudah siapkah kader-kader SESMI menjadi pekerja intelektual? Semoga!
Sebab seperti kata Harvey Fireston, "Anda dapatkan yang terbaik dari orang lain, kalau Anda sendiri memberikan yang terbaik".
Tabik!
Tulisan ini dipersembahkan oleh Muhammad Kasman, CEO Tjokro Corner. Menerbitkan buku Reinventing Tjokro: Meneroka Ulang Serpih Adicita Jang Oetama (2020).
0 Comments:
Posting Komentar