Jumat, 20 Desember 2024

Indonesia Ibarat Kapal (Bagian Kedua): Manakah Milik Umat Islam Bangsa Indonesia


TJOKROCORNER, ESAI -
Indonesia berdasarkan desain wahyu atau ro’yu?

Indonesia sebelum menjadi bangunan kapal, yang disebut ‘negara dan pemerintahannya’, setidaknya sudah diperjuangkan di awal Abad ke-19 terbagi dua arus utama, yaitu Islam dan Sekuler (Nasionalis). 

Adalah Oemar Said Tjokroaminoto yang menjadi pemula menggagasnya lewat Pidato Zelfbestuur 1916 dalam peristiwa National Congres (NATICO) I, Central Sarekat Islam (CSI) 17 – 24 Juni. 

Ini berlanjut dengan terbitnya blueprint Tafsir Azas Dan Tandhim PSII (1931) yang menyatakan tentang kehendak mendirikan pemerintahan Islam Indonesia sebagaimana Madinah al Munawaroh di zaman Nabi SAW dengan rujukannya kepada konsep al Mawardi, dalam kitab al-Ahkam al-Sultaniah

Sanad perjuangan ini dilanjutkan melalui PSII, hingga menghasilkan Konsep Hijrah PSII (1936) yang digagas oleh S.M. Kartosuwirjo, yang kelak berdasarkan amanat 7 Roadmap Hasil Konferensi Tjisajong (1948) untuk mendirikan dan memproklamasikan sebuah Negara Islam Indonesia (NII), pada 7 Agustus 1949. 

Inilah Kapal Kedua, bagi Indonesia yang berdasarkan al Quran (Lihat Teks Proklamasi NII). 

Di arus nasionalis sekuler, adalah Tan Malaka, atau nama asalnya Sutan Ibrahim, dengan tulisannya berjudul Naar De Republiek Indonesia (1925) sebagai pencetus konsep “Negara Indonesia di bawah Sosialisme” dengan 100 % Merdeka-nya. 

Sementara itu, sebagai gerakan kolektif, Moh. Hatta, dkk. mencetuskan komitmen politiknya, Manifesto Politik 1925 di Denhaag sebagai titik nol arsitektur Kapal Indonesia di bawah bendera National-State sebagai respon atas berdirinya Negara Nasional Turki, Kemal Ataturk, pasca dibubarkannya Kekhilafahan Utsmaniyyah (3 April 1924).

Kapal Indonesia Pertama, yang berdasarkan sanadnya kepada pemikiran Tan Malaka dan Manisfesto Politik-nya Moh Hatta, dkk. terbentuk dalam masa-masa revolusi 1945, menjadi sebuah negara-bangsa yang bernama Negara Republik Indonesia, pada 18 Agustus 1945. 

Proses lahirnya Negara RI ini penuh dengan intrik dan khianat diantara elit pemimpin nasional, antara yang memiliki visi Islam sebagai dasar negara dan yang sekuler dengan Kebangsaan Indonesia (Nasionalisme). 

Upaya untuk membangun komitmen atau konsensus nasional di bawah simpul-ikatan 7 Kata, yaitu "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapuskan, sehingga simpulnya berubah menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ dan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai sebutan atau nama simbol ketuhanannya dan Pancasila sebagai nama populernya. 

Namun, dalam perjalannya mengarungi samudera, Kapal Pertama ini mengalami hantaman ombak dan badai yang sangat dahsyat. 

Amanat Revolusi Nasional tidak terwujud,setelahnya proses Perjanjian Internasional Renville ditandatangani, sehingga RI melepaskan kekuasaan dan kedaulatannya wilayahnya kepada pihak Belanda, dan hanya memperoleh konsesi Sumatera dan Jawa bagian Tengah dengan ibukota di Yogyakarta.

Kapal Pertama Karam: Hadirlah Kapal Ketiga 

Sejak itulah, Kapal Pertama tidak lagi memiliki legitimasi legal standing-nya sebagai Negara Merdeka atas dasar Proklamasi, namun menjadi negara-perjanjian-kesepakatan (konsensus) internasional. 

Jadilah, Negara RI Yogyakarta sebagai negara perjanjian/kesepakatan atau Negara Konsensus Internasional di bawah Negara Penjajah-nya (Belanda). 

Hal ini dikukuhkan lewat perjanjian-kesepakatan yang disebut Konferensi Meja Bundar (KMB, 27 Desember 1949) menjadi negara baru yang disebut Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). 

Di pihak lain, sejak dihapusnya 7 Kata tersebut, sebagian elit pemimpin nasional, seperti Kasman Singodimejo, Sjafrudin Prawiranegara, M. Natsir, Burhanuddin Harahap, dan Prawoto Mangkusasmito terus memperjuangkan kembali ke Piagam Jakarta, melalui Partai Masyumi, hingga dibubarkannya (1945 -1960). 

Dalam dinamikanya, di awal tahun 2000, gagasan tentang Syariat Islam dalam Kapal Indonesia ini mewujud dengan tagline Indonesia Bersyariat dengan berdirinya Majelis Mujahidin dan NKRI Bersyariat yang digagas oleh Imam Besar Habib Riziq Shihab (HRS).

Sedangkan dalam koridor partai politik, digagas pula berdirinya kembali Partai Masyumi yang dipimpin Abdullah Hehamahua.

Jatinangor, 9/12/2024

Tulisan ini disajikan oleh Nunu A Hamijaya, Penulis buku Tetralogi Islam Bernegara & Negara Ummat.

Share:

0 Comments:

Posting Komentar