Selasa, 17 Desember 2024

Agus Salim: Dari Penyusup Menjadi Pembela SI


TJOKROCORNER, RESENSI -
Berkaca pada sejarah adalah salah satu upaya untuk menata masa depan dengan cara yang lebih baik dan upaya yang lebih maksimal. Sukarno tak segan berteriak lantang, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah!” Sebab mereka yang lupa sejarahnya akan kehilangan arah masa depannya. 

Allah swt di dalam Al Quran juga menegaskan, “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu, terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal...” (Q.S. 12 : 111). 

Salah satu komponen yang berperan besar bagi terbentuknya imajinasi bangunan bangsa ini di detik-detik awalnya adalah Sarekat Islam. organisasi pergerakan nasional pertama yang didirikan pada 16 Oktober 1905 dengan nama Sarekat Dagang Islam (SDI). 

Maka membincang sejarah Indonesia, akan terasa kurang afdhol tanpa menilik peran dan aktivitas tokoh-tokohnya, salah satunya adalah Haji Agus Salim. 

Siapa yang tak kenal dengannya? Tokoh pergerakan ini merupakan aktivis pergerakan yang luar biasa, sehingga tak bisa dipungkiri, peran dan pemikirannya menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah perjuangan bangsa ini meraih kemerdekaan. 

Bahkan, polemiknya dengan Soekarno tentang konsep nasionalisme adalah sebuah pengayaan wacana soal nasionalisme yang ikut mematangkan nasionalisme Indonesia Merdeka. 

Buku yang ditulis oleh penulis profesional dan wartawan senior ini merupakan salah satu bahan bacaan yang sangat berharga untuk mengetahui seluk-beluk dan liku perjalanan anak bangsa yang menghabiskan sebagian besar aktivitas politiknya dalam naungan Sarekat Islam (SI). 

Di buku ini, diulas soal posisi politik Salim dalam merespon tarikan politik antara gerakan ko-operasi atau non-kooperasi. 

Bahkan perbedaan sikap politiknya dengan para teman sejawat dalam SI (saat itu sudah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia/PSII) membuat Salim harus balik haluan dan membentuk kendaraan politiknya sendiri di internal partai: Pergerakan Penyadar. 

Organisasi yang dalam perkembangannya kemudian menjadi partai politik sendiri sebagai upaya menginstitusionalisasi konsepsi politik Salim yang tidak lagi bisa terakomodir dalam PSII. 

Buku ini dengan gamblang mengungkap alasan pertama Salim masuk SI: bekerja untuk politie memata-matai aktivitas SI (hal. 58). 

Terungkap pula bahwa meskipun Salim menyatakan dirinya telah memutus hubungan dengan pihak polisi (=pemerintah) pada tahun 1915, namun mengutip Koever (1985:69), Salim masih membuat laporan-laporan kepada pemerintah mengenai kegiatan SI. 

Suradi memulai pembahasan soal konflik di internal SI yang melibatkan Salim dengan membangun kondisi eksternal yang melatari lahirnya konflik tersebut. 

Pembahasan awal buku menyinggung peran dari partai besar lain pada saat itu yang juga tak bisa dipisahkan dengan SI, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dipimpin duet Semaun-Musso dan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dibentuk oleh Sukarno. Kedua partai ini didirikan oleh kader-kader muda Tjokroaminoto, pemimpin SI. 

Selanjutnya, buku ini mengulas tentang posisi Salim sebelum masuk ke dalam SI, terutama kedekatannya dengan pihak Hindia Belanda. 

Berkat kedekatannya dengan C. Snouck Hourgronje (hal. 42), Salim yang sebelumnya begitu terobsesi menuntut ilmu di negeri Belanda untuk mewujudkan impiannya menjadi seorang dokter, kemudian berubah, Salim memilih menjadi Leerling Secretaris Drogman pada Consulaat Belanda di Jeddah. 

Snouck Hourgronje menulis surat khusus pengusulan Salim kepada Gubernur Jenderal tertanggal 3 Juli 1905. Hal menarik lainnya adalah informasi soal kekaguman R.A. Kartini akan prestasi akademik Salim selama di HBS. 

Sampai-sampai, puteri Bupati Jepara yang sekarang ini dikenal sebagai pelopor gerakan emansipasi wanita, menyampaikan niatnya untuk membantu pembiayaan sekolah Salim ke Belanda dengan cara mengalihkan beasiswanya untuk Salim. 

Melalui suratnya kepada Nyonya Abendanon tertanggal 24 Juli 1903, Kartini mengajukan niat mengalihkan beasiswanya yang sebesar 4.800 gulden untuk Salim (hal. 40), meskipun permintaan itu akhirnya ditolak oleh pemerintah Hindia Belanda. 

Buku ini memang patut dibaca bagi para aktivis dan mereka yang mencintai negeri ini, terutama yang ingin mengetahui secara gamblang ulasan mengenai dinamika internal yang membuat para pendukung Salim dalam Pergerakan Penyadar mengalami pemecatan dari SI. 

Buku ini juga menyajikan lampiran yang memadai mengenai Pergerakan Penyadar seperti riwayat singkat para pemimpinnya dan Statuten Pergerakan Penyadar. 

Cuma sayang, buku yang diberi judul lumayan panjang ini, kurang mengulas argumentasi kubu SI yang berseberangan pemikiran dengan kubu Salim, dalam hal ini adalah kubu Tjokroaminoto. 

Mungkin karena penulis menganggap masalah itu sudah banyak diulas pada berbagai literatur. Namun ketiadaan ulasan tersebut membuat nuansa dialektika pemikiran diantara kubu yang berkonflik menjadi kurang bisa dinikmati.  

Suradi menghabiskan 168 halaman buku dengan menelusuri dinamika politik yang melingkupi pria kelahiran Koto Gadang, Bukittinggi, Minangkabau, 8 Oktober 1884 ini, sehingga terkesan menjadi sebentuk upaya mengukuhkan argumentasi pilihan politik Salim untuk menempuh jalur ko-operasi dalam menghadapi politik etis yang dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda. 

Sepertinya ini sebuah kesengajaan untuk tetap fokus pada peran Salim sebagai pelaku sejarah. 

Meskipun demikian, semua itu tak mengurangi nilai penting dari buku yang diberi pengantar oleh sejarawan kondang, Taufik Abdullah. 

Pada penggalan pengantarnya, Taufik Abdullah menyebut Salim, pria hebat yang meninggal dunia di Jakarta, 4 November 1954 ini sebagai dwi tunggal bersama HOS Tjokroaminoto dalam membangun soliditas SI, juga perumus yang paling terkemuka dari apa yang kemudian dikenal sebagai “Ideologi Islam”. 

Tulisan ini merupaan resensi yang dibuat oleh Muhammad Kasman, Ketua DPW Syarikat Islam Indonesia Prov. Sulsel Periode 2023-2027, atas buku yang berjudul Grand Old Man Of The Republik: Haji Agus Salim dan Konflik Politik Sarekat Islam | Penulis: Suradi .SS | Penerbit: Mata Padi | Cetakan: Agustus 2014 | Jumlah Halaman: 168 | ISBN: 978-602-1634-11-0 

Resensi ini tayang petama kali di Jurnal Soeloeh Noesantara Volume I, No. 1 Tahun 2015 | ISSN: 2476-9827 

Share:

0 Comments:

Posting Komentar