“Kita harus mencintai bangsa sendiri dengan mempersatukan mereka dengan kekuatan ajaran Islam…. bahwa Negara dan bangsa kita tak akan mentjapai kehidupan jang adil dan makmur, pergaulan hidup jang aman dan tenteram, selama keadilan sosial sepandjang adjaran-adjaran Islam belum dapat berlaku atau dilakukan mendjadi hukum dalam Negara kita, sekalipun sudah merdeka…”
(OS. Tjokroaminoto, Pidato Zelfbestuur, 18 Juni 1916)
TJOKROCORNER, ESAI - Historiografi perjuangan Islam bernegara berlandaskan sanad perjuangan tersambung sejak Nabi SAW mewujudkannya sepanjang era Mekkah-Madinah dengan mendirikan negara Madinah al Munawaroh sebagai prototipe atau role model (ushwatun hasanah) bangunan negara ummat pertama hingga pada fase kelima akhirnya akan kembali kepada khilafah min hajun nubuwwah.
Perumusan masa depan visi tentang Islam bernegara disebut sebagai ‘pemerintahan Islam di Indonesia’, pertamakali disebut HOS Tjokroaminoto (1931) dalam Tafsir Program Azas dan Tandhim PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia).
Isi Tafsir Program Azas dan Program Tandhim PSII (1929-1931) yang disahkan dalam Majelis Tahkim ke-22 di Batavia sbb :
1. Persatuan dalam Umat Islam (terbangunnya suatu ‘Ummatan Wahidah’ Umat Islam se-Dunia); 2. Kemerdekaan Ummat yaitu merdeka terbebasnya dari penjajahan bangsa Barat dan Kapitalisme dengan berdirinya suatu Pemerintahan Islam di Indonesia; 3. Sifat negara dan pemerintahan, yang bercirikan: a. Majelis Syuro, b. Ahlul Aqdi wal Halli, c. Ahli al Ummah (Tanfiziah/Imam); 4. Penghidupan ekonomi yang menghapuskan praktek Kapitalisme; 5. Keadaan dan derajat manusia dalam hidup bersama di dalam hukum (HAM Islam); 6. Kemerdekan Sejati, yaitu menjalankan Islam dalam sistem kehidupan bernegara dan berpemerintahan dengan pelaksanaan hukum-hukum islam.
Kawasan Hindia Belanda sebagai kawasan ‘darul Islam’ dan ‘negara Islam’ dicetuskan dalam muktamar ulama Nahdlatoel Oelama (1936-1940). Terakhir disebut sebagai salah satu dari 7 (tujuh) roadmap Perjuangan Islam Bernegara yang dihasilkan Konferensi Ulama dan Tokoh Ummat Islam se-Priangan Timur, yaitu Konferensi Tjisajong (1948).
Konferensi Ulama dan Tokoh Umat se-Priangan Timur dalam Konferensi Tjisajong (1948) menghasilkan kesepakatan Roadmap Tjisajong, yang mencakup tujuh poin penting, antara lain:
1. Mendidik rakyat agar cakap menjadi warga negara Islam; 2. Memberikan pemahaman bahwa Islam tidak bisa dimenangkan dengan plebisit atau pemilu; 3. Membentuk daerah basis perjuangan; 4. Memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII); 5. Memperkuat NII, baik secara internal dengan memberlakukan hukum Islam seluas-luasnya, maupun eksternal dengan meneguhkan identitas internasional NII; 6. Membantu perjuangan umat Islam di negara lain agar mereka bisa menegakkan hukum Allah; 7. Bersama negara-negara Islam lainnya, membentuk Dewan Imamah Dunia untuk memilih seorang khalifah dan menegakkan khilafah di muka bumi.
Adapun Kata ‘natie’ pertama kali digunakan organisasi Central Sarikat Islam (SCI) pada momentum NATICO (Nationale Conggres) I di Bandung, 17 – 24 Juni 1916. Ini bukti tak terbantahkan, bahwa pemikiran sebuah ‘nation’ berdasarkan Islam telah dirintis oleh ulama dan tokoh umat Islam di Hindia Belanda. Namun, bukan berarti sebuah isme Nasionalisme Barat yang jelas sekuler dan merupakan antitesa dari negara ummat (daulah islamiyah, khilafah).
Di era kesultanan-kesultanan Islam tidak dikenal konsep bangsa itu. Yang ada adalah rakyat untuk menyebut orang per orang, tanpa diskriminasi ras dan keyakinan (agama) yang menjadi tanggungjawab penguasa untuk mendapatkan pelayanan dan perlindungan.
Hal ini sesuai dengan konsep dalam Hadits Nabi SAW, Kullukum raa’in wakullukum mas-uulun ‘an ra’iyyatihi… Setiap kamu penggembala dan setiap kamu bertanggung jawab kepada gembalaannya… (Nabi Muhammad SAW)
Ditafsirkan secara majasi menjadi: Setiap kamu pemimpin dan setiap kamu bertanggung jawab kepada yang dipimpinnya. (Terdokumentasikan dalam Sunan Abu Dawud 2928, Sahih Bukhari 6719, Sahih Muslim 1829. Status hadits dicapai dengan muttafaqun alaihi, atau authenticity agreed upon, dalam arti derajat keasliannya disepakati oleh mereka para pakar hadits).
Jelas, bahwa sanad perjuangan Islam bernegara di Indonesia tidak terkait dengan perjuangan kebangsaan berdasarkan nasionalisme Barat yang dicetuskan melalui Manisfesto Politik 1925 di Denhaag Belanda oleh sekelompok intelektual elit pribumi dari Hindia Belanda yang tergabung dalam Perhimpuan Indonesia.
Adanya simpul titik-temu perjuangan kebangsaan Indonesia dalam Kongres Pemuda II, di Batavia 28 Oktober 1928 adalah ‘usaha bersama yang berlandaskan nilai-nilai yang berbeda’ dari dua golongan pengusung national state-nya Hatta dkk. dan ‘pemerintahan Islam di Indonesia’ yang digagas HOS Tjokroaminoto sejak Pidato Zelfbestuur 1916 di Bandung (CSI-PSII, 1916-1931) sebagai ‘titik nol kesadaran dan kehendak’ berpemerintahan sendiri bagi kaum muslimin di Hindia Belanda.
Polemik mengenai Islam sebagai dasar negara sepanjang tahun 1945-1949 menunjukkan dinamika politik yang unik. Sejak Manifesto Politik 1925, tokoh-tokoh nasionalis sekuler seperti Mohammad Hatta, Soenario, dan Soekarno mengajukan konsep 'Negara Bangsa', yang terinspirasi dari berdirinya Negara Nasionalis Sekuler Turki pada 1924.
Pada tahun 1945, M. Hatta konsisten mengajukan konsep Negara Persatuan Nasional yang memisahkan urusan negara dan agama (Islam), atau dengan kata lain, bukan negara Islam. Hatta menyatakan, “Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen dan menggantinya dengan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.”
Penghapusan frasa yang dikenal sebagai Tujuh Kata ini, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” diputuskan oleh Soekarno, Hatta, dan Soebardjo tanpa kehadiran perwakilan golongan Islam.
Upaya untuk memertemukan gagasan tentang national-state dan ‘negara berdasarkan Islam’ pernah dilakukan melalui Panitia BPUPK ( Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) yang melahirkan Piagam Jakarta, 22 Juni 1945.
Namun, sejarah membuktikan bahwa usaha tersebut mengalami jalan buntu, dengan dihapusnya 7 Kata, yang berisi tentang kewajiban secara konstitusional bahwa Negara dan Pemerintahan Republik Indonesia berkewajiban menjalankan syariat Islam dalam sistem bernegara dan berpemerintahan yang menyangkut umat Islam rakyat Indonesia.
Usaha yang kedua kalinya dalam Sidang Konstituante (1959) untuk memutuskan tentang dasar negara antara Islam dan Kebangsaan (nasionalisme) Indonesia tidak mencapai mufakat, bahkan berujung pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan dimulainya babak baru Sistem Pemerintahan Demokrasi Terpimpin.
Adanya klausal tentang dijaminnya Mukadimah Piagam Jakarta yang memuat 7 Kata tentang Syariat Islam sebagai ‘ruh atau jiwa’ dari UUD 1945 nyatanya tidak pernah diwujudkan dan hanyalah sekedar lip servise saja. Maka, untuk kedua kalinya, ulama dan tokoh umat islam beserta umat islam Indonesia mengalami dua kali duka nestapa atas cita-cita islam bernegara atau bersyariah di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setelah dibubarkannya Masjoemi (1945-1960) dan kekalahan sementara gerakan Islam Bernegara NII (1949-1962), maka Umat Islam Bangsa Indonesia mengalami fase fatrah perjuangan Islam bernegara. Dengan senjata ‘kesepakatan kebangsaan Indonesia minus ulama dan tokoh umat’ yang bernama Pancasila, berubah menjadi ideologi lokal, yang ingin mensintesiskan isme-isme ideologi lokal (kejawen, sunda wiwitan dan sejenisnya) serta isme global, seperti komunisme dan kapitalisme.
Mantra sihir ‘Karakter Bangsa’ dan ‘Pembangunan Nasional’ dijangkarkan di setiap lini kehidupan sepanjang rezim orde lama dan orde baru hingga saat ini. Nasionalisme Indonesia merupakan ideologi lokal yang memayungi agama-agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia. Islam kemudian dikebiri dan dibonsai hanya sebagai ‘agama’ dan salah satu agama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia.
Sementara Islam sebagai Dinul Haq, sistem hukum, kedaulatan, dan kepemimpinan (ulil amri dan syuro ummah) dibunuh karakternya bahkan hingga khazanah dan metodologi keilmuannya pun dirusak dengan ‘sekulerisasi’, heurmeunetika bible dan moderasi beragama sebagai ujung tombaknya.
Fase Fatrah: Masa Peralihan dalam Perjuangan Islam
Dalam fase fatrah ini, umat Islam tidak hanya kehilangan saluran politik formal mereka melalui Masyumi, tetapi juga harus menghadapi kekuatan negara yang semakin kuat mengendalikan narasi kebangsaan tanpa melibatkan ulama dan tokoh Islam dalam perumusan kebijakan penting.
Pancasila, yang pada awalnya diusulkan sebagai konsensus kebangsaan, secara perlahan mengalami transformasi menjadi sebuah ideologi yang digunakan oleh pemerintah untuk meredam pengaruh agama dalam kehidupan politik.
Pancasila tidak hanya dipandang sebagai ideologi nasional yang inklusif, tetapi juga mulai dimanipulasi untuk menyerap berbagai pengaruh ideologi lokal seperti kejawen dan sunda wiwitan, serta isme global seperti komunisme dan kapitalisme.
Di bawah pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, konsep "karakter bangsa" dan "pembangunan nasional" menjadi mantra utama yang dijalankan oleh negara untuk mempromosikan nasionalisme tanpa memperhatikan identitas Islam yang lebih luas sebagai sistem hidup.
Nasionalisme Indonesia: Sebuah Sintesis yang Meminggirkan Islam
Nasionalisme Indonesia mulai dipromosikan sebagai payung besar yang mengakomodasi agama-agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia, termasuk Islam. Namun, dalam proses ini, Islam sebagai dinul haq—yang tidak hanya sebagai agama ritual tetapi juga sebagai sistem hukum, kedaulatan, dan kepemimpinan (ulil amri dan syuro ummah)—justru dikebiri dan dipersempit hanya sebagai salah satu agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia. Islam dipisahkan dari politik, kekuasaan, dan pengaruhnya dalam kebijakan negara dikerdilkan.
Narasi ini kemudian diperkuat oleh proyek sekulerisasi yang melibatkan interpretasi hermeneutika dari ajaran-ajaran agama, yang pada akhirnya berusaha untuk mereduksi ajaran Islam agar sejalan dengan ide-ide modernisme Barat. Moderasi beragama pun diperkenalkan sebagai alat untuk memastikan bahwa Islam tidak lagi menjadi ancaman bagi stabilitas politik nasional, melainkan dikelola sebagai bagian dari identitas keagamaan yang aman dan terkontrol.
Oligarki dan Pengkhianatan Terhadap Proklamasi
Selama 30 tahun kekuasaan Orde Baru, yang seolah-olah ditumbangkan oleh gerakan reformasi pada tahun 1998, umat Islam menyaksikan bahwa realitas politik Indonesia semakin didominasi oleh elit-elit yang tidak lagi memperjuangkan cita-cita Proklamasi 1945 dan Proklamasi 1949.
Pemerintahan yang terbentuk menjadi cerminan dari negara oligarki, di mana segelintir elit menguasai sumber daya dan kekuasaan, tanpa melibatkan aspirasi umat Islam yang pernah menjadi bagian integral dari perjuangan kemerdekaan.
Sama seperti pada masa penjajahan, ketika Indonesia dikenal sebagai Biladi Jawi yang menghadapi invasi dan imperialisme dari kekuatan dagang internasional seperti VOC, Indonesia modern menghadapi tantangan yang serupa.
Kini, penguasaan politik dan ekonomi berada di tangan kelompok-kelompok oligarki yang lebih mementingkan kepentingan mereka sendiri daripada kepentingan bangsa dan agama. Umat Islam, yang pada masa awal kemerdekaan memegang peranan penting, kini harus berjuang keras untuk mempertahankan identitas mereka di tengah arus modernisasi dan sekularisasi yang semakin kuat.
Pembangunan Nasional dan Upaya Sistematis Meminggirkan Islam
Dalam retorika pembangunan nasional yang dijalankan oleh Orde Baru, Islam diletakkan dalam posisi yang semakin terpinggirkan. Ideologi pembangunan nasional yang dikembangkan oleh pemerintah tidak mengakomodasi aspirasi umat Islam untuk menerapkan nilai-nilai syariat dalam kebijakan negara.
Sebaliknya, pembangunan nasional dijadikan sebagai alat untuk mengonsolidasikan kekuasaan negara, sementara peran Islam dalam kehidupan publik secara perlahan direduksi menjadi urusan pribadi dan ritual keagamaan semata.
Proyek sekulerisasi yang dijalankan oleh negara pun semakin memperkuat upaya untuk mereduksi pengaruh Islam dalam kehidupan politik. Pendidikan keagamaan dan lembaga-lembaga keislaman mulai dirasionalisasi agar sejalan dengan agenda pembangunan negara yang bersifat pragmatis.
Umat Islam dipaksa untuk menerima peran Islam yang minimal dalam negara, sementara negara semakin mendominasi kehidupan sosial dan politik dengan ideologi nasionalisme yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip syariat Islam.
Selain tantangan internal, umat Islam di Indonesia juga dihadapkan pada tantangan eksternal, terutama dalam bentuk globalisasi dan islamofobia yang semakin kuat. Dunia yang semakin terhubung membawa pengaruh ideologi dan budaya asing yang kadang-kadang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Tantangan ini semakin diperburuk dengan meningkatnya Islamofobia di berbagai belahan dunia, yang berdampak pada persepsi negatif terhadap Islam dan umat Islam, termasuk di Indonesia.
Perdebatan antara Islam sebagai dasar negara versus nasionalisme sekuler tetap menjadi isu sentral dalam politik Indonesia hingga saat ini. Sementara sebagian kelompok Islam terus memperjuangkan penerapan syariat Islam secara penuh, sebagian lainnya mulai mengeksplorasi pendekatan yang lebih moderat dan pragmatis.
Salah satu jalan yang mungkin dapat diambil adalah dengan mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam kebijakan publik tanpa harus memperjuangkan negara Islam secara formal.
Bahwa perjuangan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara belumlah selesai, dan estafeta perjuangan Islam Bernegara terbuka peluangnya di tengah akan berakhirnya era mulkan jabariyyah dan tibanya masa kedatangan Islam yang memimpin dunia.
Tantangan globalisasi dan internal di dalam negeri memang nyata, tetapi dengan konsistensi menetapkan kompas Islam Bernegara sesuai dengan kaidah Sunnah Nubuwwah, yang prinsip ‘asyidddau alal kuffaar (tegas dan adil) ‘ruhamaa u baiynahun serta dengan program-program keumatan, maka Islam dapat menjadi solusi terbaik dalam pembangunan peradaban Islam bagi umat islam bangsa Indonesia.
Perjuangan Islam bernegara saat ini harus menjadi nafas dan simpul ikatan pergerakan untuk me-negara-kan Islam mulai dari unit keluarga, qoryah, hingga menjadi entitas khoiro ummah, ummatan wahidah, dan menjadi ‘ummatan wasathon yang melahirkan suatu bangunan model madinatul al munawaroh di negeri yang ‘baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur'.
Kehadiran Islam bernegara harus terukur dan terstandardisasikan sesuatu dengan parameter Islam ala minhaj an nubuwwah, sehingga dapat memastikan Islam menjadi sumber nilai etika dan kebijakan negara ummat di Indonesia dapat terus memainkan peran signifikan dalam menentukan masa depan umat Islam bangsa Indonesia.
Tulisan ini disajikan oleh Nunu. A. Hamijaya sebagai tanggapan atas tulisan Ardinal Bandaro Putiah yang berjudul Tenggelamnya Gerakan Sarekat Islam Indonesia dalam Percaturan Politik Indonesia Saat Ini
0 Comments:
Posting Komentar